Secuil Kontemplasi
Published in Blog.
Sekian lama hiatus, alhamdulillah dapat kembali menulis sebuah pos di Latif.id. Masyaallah, cukup lama, ya, kami berjeda. Sesekali sempat memvisit platform blog ini, tetapi bukan untuk menulis/mengetik beberapa kata yang kemudian diharapkan dapat ditayangkan sedemikian rupa. Ups, realitanya, jamak sekadar tersusun ke dalam rupa konsepi/draf. Jujur (insyaallah), acap berhenti pada draf, tidak sampai tertayangkan/terposkan alias nirtampil pada lini masa menu Blog. Kami berkunjung ke blog ini tidak dalam keadaan log masuk (log-in) dasbor pengaturan, kerap kali sekadar memastikan apakah blog ini masih bertengger pada hasil/luaran penelusuran di salah satu layanan mesin pencari internet populer. Minimalnya, masih dalam keadaan masih dapat diakses (alhamdulillah).
Laman nan acap tervisitasi kami pribadi adalah laman FOSS dan Munsyi. Inisiasi awal laman-laman tersebut dikreasi sebab memang sebagai pengingat kami pribadi, terutama berkait pranala/hipertaut yang kami rasa penting, yang sudah terhimpun tanpa mesti meramban ulang mesin pencari atau bertanya pada layanan akal imitasi (padanan bebas artificial intelligence, AI). Toh, pumpunan pranala pada laman-laman yang tersaji sudah sejak lama terfaedahi, terutama untuk mendukung kebutuhan harian kami. Dari laman FOSS, kami mengikuti baruan (update) pengembangan (terutama) distro Linux terkini, sedangkan Munsyi terfaedahi saat mengonfirmasi tautan penting kebahasaan bahasa Indonesia.
Kami sadari, beberapa tautan (pranala) yang tersemat pada masing-masing laman belum tentu terbarukan seluruhnya. Beberapa teridentifikasi telah berubah (sebab satu dan lain hal), salah satunya tautan KBBI VI daring yang barangkali diproses dimigrasi atau kelak di-direct dari URL Kemdikbud sebelumnya ke Kemendikdasmen yang baru. Mohon dimaafkan bila bergalat ketika Anda mengeklik beberapa tautan yang tersaji pada laman tersebut ataupun laman-laman lainnya. Mudah-mudahan kami dapat mengikhtiarkan pembaruannya (melakukan perawatan/maintenance) segera (insyaallah).
Sempat melakukan suntingan kecil pada laman-laman yang tersaji. Namun, kami rasa tidak begitu signifikan. Kami pun kurang dapat memvalidasi ulang atas konten pos-pos yang telah tertayang. Cenderung sebagian besar di antaranya terabaikan untuk dibaca kembali, lebih-lebih disunting atau direvisi. Pos-pos tersebut sengaja dibiarkan sebagai bagian dari pelacakan proses belajar dan berlatih menulis di blog ini.
Menurut hemat kami pun, pos-pos di sini masih dirasa kurang menarik. Memang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menarik perhatian, bahkan sekalipun untuk memantik minat pembaca lama (kalau tidak boleh disebut sebagai pelanggan/subscriber, yang melanggani umpan RSS blog ini). Lebih-lebih mendatangkan pembaca baru, tiada asa bagi kami. Siapa yang tertarik dengan konten blog yang cenderung seperti kontemplasi ini?
Konten yang cenderung seperti catatan teknis kebutuhan pribadi, yang bisa jadi teramat jauh relevansinya dengan hal-hal yang menghiasi kehidupan Anda. Konten-konten yang tidak mengetengahkan kekritisan berpikir, atau mengomentari hal-hal serius yang terjadi di Indonesia ataupun dunia secara menyeluruh. Tiada energi untuk hal itu, kami teramat berbatas. Mohon dimaafkan atas kekhilafan kami bila teramat jauh dari ekspektasi Anda (beribu maaf kami haturkan).
Selaik nan kami kemukakan pada laman Ihwal yang nyaris tidak banyak terevisi, hal di atas tersebut lantaran memang blog ini bukan untuk dinikmati pembaca, melainkan sebagai medium berlatih menulis kami dalam bahasa Indonesia. Semula digadang setiap hari, tetapi ternyata nyaris belasan purnama terlewati bilamana berdasar tayangan pos terakhir. Apabila ditelisik lagi, kami pun tidak begitu mendalami belantara digital, meskipun (tidak dapat dimungkiri bahwa) serbaneka perdigitalan tidak dapat dilepaskan dari aktivitas berkehidupan manusia dewasa kini.
Dimohon tiada asa Anda mendapati kami di media sosial (medsos) populer Tanah Air (selaik YouTube, Instagram, dan lain-lain), yang cenderung kami pun tidak memperbarui konten/unggahan di sana (status/stori pesan instan WhatsApp pun nyaris tidak pernah)—masyaallah. Alhamdulillah, dunia nyata masih menjadi menarik guna kami hinggapi. Pelbagai aktivitas ringan duniawi (tanpa menyentuh medsos) sudah cukup mengurai tenaga dan waktu kita, bukan? Ah, kami salah, mungkin hal ini sekadar berbatas pada kami.
Alasan lain juga izin disampaikan di sini. Taruhlah kami dapat mencatatkan beberapa hal yang tebersit, tetapi ianya berhenti hanya pada batas topik. Topik-topik yang sekadar menjadi judul tiap draf. Belum ada isi, lebih-lebih belum ada pembukanya sama sekali. Betul, hanya topik/judul! Sesekali berdasar konteks informasi yang terdapati, tidak jarang hanya lintasan benak dan mencatatkannya dalam rangka senyampang masih teringat. Acap sok merasa bersalah sebab mereka acap terabaikan—he-he-he, atau bahkan kemudian dihapus sebab dirasa sudah terlalu usang dan tiada ruang ekspresi berkata lagi perihal sebagian topik tersebut.
Sempat, sekali lagi: “Sempat”, kami menaruh perhatian agak lebih pada platform menulis dengan komunitas penulis yang luar biasa besar Medium. Laman kami di @anshori pun masih nirkonten. Mendapati beberapa tokoh teknologi informasi juga sering menulis di Medium, salah satunya sekaligus pencinta bahasa Indonesia Pak Ivan Lanin (@ivanlanin) yang mendisiplinkan diri menulis di sana, hingga pos-pos di Medium makin menarik dari hari ke hari (terutama dalam bahasa Inggris), membuat kadar persentase kunjungan kami di platform tersebut lebih sering daripada di blog ini.
Serius, kami sempat pernah ingin menulis di sana. Mungkin, tiada ekspektasi dapat serutin Pak Ivan atau penulis lainnya. Namun, hasrat hati sekadar ingin tersebut belum gayung bersambut dengan realita. Waktu berlalu begitu cepat, qadarallāh, belum ada satu pun pos tertayang. Kami masih sekadar penikmat bacaan di platform yang digagas oleh Evan Williams (ko-pendiri Medium dan sebelumnya Twitter) ini.
Platform Medium merupakan wadah menulis yang luar biasa. Mereka menampung para penulis amatir dan andal, yang tidak jarang menjadi suporter antara satu dan lainnya. Tidak hanya Pak Ivan, beberapa narablog Tanah Air pun memfaedahi Medium untuk berkarya. Tidak sedikit orang Indonesia yang menulis dalam bahasa Inggris. Tidak masalah, manasuka berkreasi konten tulis di sana. Nikmat sekali membaca tulisan beliau-beliau yang bernas-cerdas. Ragam bahasa jurnalistik yang digunakan jamak memikat. Pos-pos esai populer (atau yang direkomendasikan) pun memang berkualitas isinya, terkurasi apik oleh tim staf Medium ataupun lantaran tumbuh secara organik dan menjadi masyhur di algoritma platform tersebut.
Tepuk tangan atau Claps bukan menjadi satu-satunya penanda bahwa sebuah tulisan itu keren. Komentar-komentar yang disampaikan pun terbangun positif. Tidak sedikit pembaca lain menandai dan membuat kutipan langsung atas konten tulis yang tersaji dan dikomentari, baik pro maupun kontra (tetap dengan tuturan positif/membangun). Tidak sedikit pengunjung sebuah tulisan yang memberi komentar kritik bila memang dirasa pos yang disajikan memuat hal negatif atau bahkan bersifat penipuan/scam. Program partner yang ditawarkan Medium tampaknya apresiatif, ya. Jamak penulis buku telah membuktikannya. Anda pun dapat mengapresiasi penulis dengan cara lain selain sekadar menjadi Friends of Medium. Menarik.
Hampir saja tergiur dengan Substack (kami ber-@anshori, masih serupa nirkonten Medium sementara ini). Substack menawarkan pengalaman yang sedikit berbeda, kita memfaedahi platform penulisan yang memfokuskan pada layanan berlangganan seperti surat kabar (newsletter) yang masuk ke dalam kotak masuk surel pembaca/pelanggan secara otomatis saat sebuah tulisan dipublikasikan, meskipun kekinian fitur-fiturnya makin berkembang (salah satunya siaran video vertikal secara langsung dari kreator bagi pelanggan). Betul, video vertikal selaik di medsos berbagi video terkini (YouTube, Instagram, TikTok, dan sebagainya). Monetisasi tulisan teramat kuat di platform ini.
Ya, pihak Substack akan memotong sekian persen berdasar monetisasi yang diterapkan kreator. Bagaimanapun ketentuan yang diaplikasikan, cukup adil dan masih terbilang menguntungkan bagi kreator/penulis. Ini pun bilamana Anda mengaktifkan monetisasi. Namun, apabila Anda ingin menulis dan berpublikasi di sana secara bebas/free, tidak masalah pula, Substack tidak memotong apa pun. Sifat asalinya free, baru dikenakan “bagi hasil” bilamana Anda memang telah memperoleh profit. Model bisnis ini barangkali sesuai bagi Anda yang menghendaki pundi-pundi berlebih dari aktivitas menulis.
Sayang sekali, kami masih belum dapat menulis pula di Substack pula. Entah di Twitter/X (@anshori), Medium, Substack, atau platform lain (misalnya platform dengan protokol terbuka Nostr—yang tiap pos tidak mudah dihapus begitu saja, tetapi masih dapat mengajukan permintaan penghapusan [request deletion] di aplikasi klien tertentu), ataupun lain-lainnya, kami masih belum menulis khusus seperti di blog ini. Ujung-ujungnya, seperti yang sudah-sudah, sekadar nice-to-have untuk akun-akun pada platform dan protokol terbuka yang ada, yang peladennya masih cenderung belum berdomisili di Indonesia. Ujung-ujungnya lagi, kami kembali berlabuh dengan pos perdana tahun 2025 ini.
Sekali lagi, sejatinya, sekalipun sudah memasuki 2025, kami sempat sekadar mengedraf judul. Namun, alih-alih dikembangkan sedemikian rupa, kami ter-slimur-kan (lazim digunakan: keslimur, dalam bahasa Jawa: terlalaikan) jamak hal lain. Jadi, alurnya: Ada hal atau isu menarik untuk dibahas, terkreasi topik/judul, selesai. Ada lagi, buat judul lagi. +New > Post, lewati; +New > Post, lewat. Begitu terus, berulang hingga minimal masih tersisa lebih dari 20 judul (tanpa tubuh tulisan) tidak tersentuh samsek, hi-hi-hi. Masyaallah.
Tidak, kami pun juga tidak sempat membuat jurnal (melakukan journaling atas aktivitas hari tersebut sebagai bahan reflektif pada catatan privatif atau diari). Bisa jadi tetap mencatat, tetapi catatan penting yang biasanya berupa poin-poin atas sesuatu atau beberapa hal. Salah satunya berkait to-do-list atau tugas yang perlu dituntaskan dalam tenggat terdekat (terutama berkait pekerjaan). Ini pun tidak tersematkan pada aplikasi pencatatan selaik di Apple Notes secara rutin, he-he-he.
Alhamdulillah, atas Izin-Nya, pos ini tersusun dan tersaji pada akhirnya. Menyadari banyak kata/kosakata tidak rapi pada tayangan ini ataupun pos-pos sebelumnya. Namun, mumpung masih Diizinkan-Nya tersadar, kami mencoba belajar menulis lagi di sini. Menulis di blog yang entah sampai kapan akan terus bertahan. Ya, bisa jadi blog ini akan hilang/lenyap ketika kami tiada. Tidak tercadangkan sedemikian rupa, bisa jadi pula domain blog ini dapat berpindah ke pihak lain. Kita tidak pernah ada yang tahu, bukan, kapan kita masih dapat menghirup napas pada pagi hari yang menyegarkan, kapan waktu berpulang kita, kapan Diizinkan-Nya memasuki fase “kehidupan berikutnya”? Wallāhu A’lam.
Pos kontemplasi ini tidak benar-benar sebuah renungan (yang mengingat hakikat/esensi diksi kontemplasi). Pos ini sekadar ekspresi ringan, luapan sesaat, dan/atau ala kadarnya/sekadarnya sebagai bagian dari permohonan maaf untuk diri kami pribadi (sebab terlalu lama tidak belajar menulis di sini). Benar, belajar menulis dapat dilakukan di mana pun. Namun, niat awal berlatih rutin mengeja dan merangkai kata di platform sederhana ini perlu kami pupuk lagi.
Beberapa menggelitik dalam nada ajakan yang teramat halus. “Mengapa tidak membuat konten di YouTube saja, Mas? Bukankah orang-orang lebih suka tonton video atau hal-hal berbau visual, ya? Kamu bisa berkata-kata dengan leluasa, lo!” Begitu kelakar salah seorang teman yang sebelumnya aktif sebagai narablog kemudian beralih menjadi naravlog/vloger di salah satu platform berbagi video terbesar saat ini.
Beliau tersebut pun sempat menandaskan bahwa monetisasi di YouTube cukup menggiurkan. Lebih-lebih, beliau mengetahui bahwa blog ini tanpa menyematkan iklan apa pun. Ya, tiada ad-sense yang tertanam di blog ini. Amat disayangkan, bukan (he-he-he)? Iming-iming bagi hasil ad-sense, dan benefit lain dari YouTube masih kurang dapat menghiraukan kami untuk bergerak ke sana.
Rasa hati berkonten dengan tulisan masih lebih nyaman daripada konten video. Ternyata, godaan tidak berhenti di situ. Lain platform, lain industri, lain pula singgungannya. Teman lain menganjurkan untuk menulis buku. Nah, ini, cukup menarik. Bukan tanpa sebab beliau merekomendasikan demikian, beliau telah merilis beberapa buah karya yang dibukukan sedemikian rupa. Hebatnya, lebih dari 10 karya telah beliau telurkan, termasuk rangkaian kata dalam bingkaian kumpulan puisi atau susastra lain telah terilis ber-ISBN, dari beberapa penerbit. Masyaallah, semoga Allah Memberkahi beliau.
Beliau menyayangkan karena kami lebih fokus mengeblog alih-alih menulis buku. “Betapa banyak buku yang telah dihasilkan jika energi mengeblog ini dialihkan untuk menyusun buku-buku,” demikian semangatisasi beliau. Untuk dorongan menulis buku ini, kami masih berterima daripada mengevlog di YouTube, TikTok, atau platform berbagi video lainnya. Tidak dapat dimungkiri, menulis buku merupakan salah satu asa, tetapi barangkali belum sekarang. Kami merasa diri kami masih perlu banyak belajar, masih jauh dari kata “pantas”.
Kami masih perlu berlatih menulis terus-menerus (semoga masih Diizinkan-Nya) sepanjang hayat. Masih berharap semoga kami dapat memantaskan diri untuk menyusun sebuah buku yang memang benar-benar bermanfaat bagi khalayak (insyaallah). Ketika kita menulis dan merilis sebuah buku, seolah terdapat kewajiban moral yang perlu dipertanggungjawabkan sedemikian rupa, terutama aspek kemaslahatannya. Semua hal yang melekat pada diri tiap kita di dunia ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya kelak, bukan?
Berkali lagi, kami tidak menutup diri berkait menyusun karya sebuah buku. Kami juga tidak bermaksud menunda. Tidak dapat mengatakan pula bahwa kami telah menyusunnya. Entah, suatu ketika barangkali. Kalaupun tiada sempat hal ini terwujud atas Izin-Nya, pun tidak mengapa. Kami cukup berbahagia dengan dapat berlatih menulis, apalagi di platform independen yang dikelola mandiri blog ini. Mohon doa saja, ya, bilamana memang ada Izin-Nya dapat merealisasikan diri kami merilis buku (semoga Allah Meridai dan menjadikan buku tersebut bermaslahat bagi umat). Hanya memang, saat ini, kami masih perlu motivasi berlatih menulis. Wallāhu A’lam.
Adakah Anda memiliki kiat supaya kita tidak pupus motivasi dalam belajar menulis setiap hari, Kawan?
Prakoda: Konsepsi Sebelumnya
Akhirnya, akhirnya, dan akhirnya. Alhamdulillah, masih Diizinkan-Nya berlatih menulis di blog pribadi ini. Semoga kami dapat menyemangati diri, mengurai kata demi kata, menyusunnya ke dalam rangkai kalam yang diharap tetap berfaedah (sedikit apa pun bentuknya). Bagaimana lagi kita dapat berbagi kepada sesama kalau bukan melalui medium bahasa, terutama bahasa tulis? Apalagi, berbagi pesan yang sarat akan makna kehidupan. Kehidupan yang terus bergulir hingga tiba waktu kita untuk “pulang”.
Omong-omong, kalau boleh diizinkan lagi menyampaikan sesuatu kepada pembaca. Pos ini semula bertajuk “Faedahi Akal Imitasi, Hargai yang Berkreasi”. Inisiasi awal berupa tanggapan reaktif atas eksistensi AI yang menggejala, yang kurang dapat dibendung perkembangannya, dan singgungannya pada banyak aspek yang tidak sedikit mengkhawatirkan. Tidak penting untuk diketahui, tetapi izin kami berbagi kisahnya. Betul, awal mulanya terbetikkan ihwal AI, bukan perihal keluh kesah kepenulisan yang mendominasi substansi pos ini.
Bermula dari gelisah hati pada beberapa bulan lampau berkait fenomena pelbagai citra yang berseliweran di umpan lini masa medsos yang (dapat diduga, dapat ditebak) berasal dari kreasi sebuah layanan AI. Terlebih, apabila Anda seorang wibu, bisa jadi kita sempat bersemuka pada satu titik rasa yang tidak kalah serupa.
Sedih, campur aduk, seakan ingin menyeruak dan mengingatkan khalayak ihwal banyak hal. Namun, semua itu terhenti ketika kami merefleksi diri dan tahu kadar diri kami yang teramat berbatas. Juga bukan kewenangan kami untuk berbicara, toh tiada siapa pun yang minta opini pribadi kami. Hingga beberapa paragraf terkreasi sedemikian rupa, terlanjur lebih dari 10 paragraf terkreasi berkait kepenulisan, kami terlupa untuk tetap fokus pada topik awal, ha-ha-ha. Kemudian, hal ini kami biarkan saja, daripada terbuang percuma atau sedikit repot perlu menyunting agak keras sehingga menjadi topik bahasan yang berbeda untuk pos tersendiri.
Berkait tema tulisan AI, rasanya sudah terlalu berlimpah ruah banyak pihak telah menguraikan. Di blog ini saja, pada tahun lampau, beberapa pos tulisan tentangnya telah terbit. Nyaris sudah begitu jamak pihak menuliskan atau membicarakannya. Gelombang kemajuan AI begitu cepat, hingga kami (seperti pada umumnya orang) menjadi sekadar penikmat informasi tentangnya dari beberapa media massa/warta digital dan/atau medsos Twitter/X.
Lelah, ya, bila mengobrolkan AI yang tidak habis-habis (seakan tiada bahasan yang lain)? Belum final memaksimalkan salah satu fitur pada salah satu layanan, sudah lahir fitur baru lain di layanan yang berbeda. Kami teramat berbatas, tetapi barangkali ke depan kami ungkap salah satu layanan rekomendatif kami berkait AI (yang mudah-mudahan tetap mengedepankan norma dan etika berkehidupan antarkita). Beberapa draf judul berkait AI pun sempat kami kreasi, tetapi seakan nuansanya sudah berlainan untuk dibahas lagi sekarang. Seperti yang telah disebutkan, perkembangannya sangat cepat. Sampai-sampai kami tertinggal untuk membahasnya. Belum sempat membahas yang ini, sudah muncul yang ini, yang itu. Yang entah ini-itu, mana dulu yang perlu ditayangkan.
Entah, kami pun tidak menjanjikan tulisan berkait AI di sini banyak-banyak. Kami pribadi mencukupkan diri dengan bahasa AI dari beberapa ahli yang memang memakari hal ini. Bacaan amat menarik perihal AI, salah satu di antaranya, adalah Dekontaminasi dari Pak Ariya Hidayat (@ariyahidayat) dalam bahasa Indonesia. Salah satu ko-pendiri OpenAI, yakni Pak Andrej Karpathy, juga menyampaikan hal edukatif perihal AI melalui: kanal YouTube-nya (@AndrejKarpathy) dan blog pribadinya di Bear Blog (@karpathy). Selain Pak Ariya dan Pak Andrej, OpenAI pun terbuka membagikan video pengembangan AI terkini mereka melalui kanal YouTube @OpenAI mereka.
Seolah sudah agak memberikan ruang/space dalam mengeja isu-isu AI, kami mencukupkan diri dengan tidak terlalu menelaah berlebih di blog ini. Toh bidang pokok kami tidak membidik teknis AI secara langsung dan mendalam. Jadi, kita percayakan bahasan/kajian tersebut pada pakarnya/ahlinya. Bisa jadi kami perlu menyampaikan topik lain, yang mungkin tidak terbetikkan, bahkan oleh AI sekalipun. Namun, belum tentu terbebas dari teknologi AI, bisa jadi pos ini pun telah terpelajari dan terlatih sebagai data salah satu produk AI (entah yang mana).
Koda
Demikian, Pembaca. Tiada gading nan tak retak. Semoga antarkita dapat terus saling mengingatkan kebaikan. Semoga Allah Memaafkan kami, serta semoga Dia Meridai jalan kami dan Anda. Wallahualam bisawab. Terima kasih telah membaca.